Minggu, 27 Oktober 2013

MANAJEMEN PERUBAHAN

Pengertian Manajemen Perubahan

Manajemen perubahan adalah proses terus-menerus memperbaharui organisasi berkenaan dengan arah, struktur, dan kemampuan untuk melayani kebutuhan yang selalu berubah dari pasar, pelanggan dan para pekerja itu sendiri. Kegiatan manajemen perubahan harus berlangsung  pada tingkat tinggi mengingat  laju perubahan yang dihadapi akan  lebih besar dari masa sebelumnya.
Last but not least, agar terjadi  perubahan yang  signifikan dan dapat  diimplementasikan dengan baik kedalam suatu  organisasi, maka hal berikut ini harus segera terjadi, yakni:
  •  Orang harus memahami dengan jelas tentang apa yang dimaksud dengan organisasi bisnis dan  pelanggan. Dengan demikian,  definisi yang jelas tentang tujuan bersama diperlukan; dan
  • Persyaratan kinerja baru harus dinyatakan dengan jelas dan dipahami oleh para pekerja, sehingga mereka mampu melakukan  perubahan  perilaku sekaligus merubah cara mereka melakukan bisnis, tentunya perubahan ini secara luas  harus  selaras dengan tujuan organisasi.
Dengan demikian, para  manajer perlu  melakukan  pembinaan untuk suatu perubahan yang konstruktif pada seluruh organisasi. Ketika ide perubahan disampaikan kepada seluruh lapisan organisasi sebagai sebuah  mainstream, maka dengan sendirinya perlu dibarengi oleh perubahan infrastruktur pembinaan yang sudah ada, yang dapat mengatasi segala bentuk resistensi, sehingga mereka terdorong untuk  mencoba dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah direncanakan.

Pengertian Manajemen Perubahan menurut para ahli:

Pengertian perubahan secara umum menurut Stephen Robbins dalam Organizational behavior (2009), adalah membuat sesuatu terjadi. Dalam organisasi, perubahan dapat terjadi dalam lingkup yang kecil, tentang sesuatu yang kecil, dan perubahan yang kecil-kecil ini terjadi secara terus menerus. Perubahan ini disebut first order change atau sering juga disebut contiuous improvement. Pada umumnya perusahaan perusahaan jepang yang dikenal piawai dalam menerapkan perubahan ini. Ada pula perubahan yang besar besaran, yakni perubahan multi dimensi dalam suatu organisasi. Perubahan ini disebut second order change atau disebut dengan istilah dramatic change. Ini tidak berarti bahwa jika suatu organisasi menerapkan sudah menerapkan first order change, maka organisasi tersebut tidak perlu menerapkan second order change. Juga tidak berarti bahwa jika suatu organisasi menerapkan second order change, maka organisasi tersebut tidak perlu menerapkan first order change. Kedua jenis perubahan itu perlu diterapkan. Pimpinan organisasi harus jeli dan peka terhadap faktor faktor yang menyebabkan perlunya melakukan perubahan.
Sonnenberg, dalam Managing With A Conscience: How to Improve Performance Through Integrity, Trust, And Commitment (1994) menyatakan bahwa di dunia ini perubahan terjadi setiap hari, sehingga menjalankan usaha seperti biasa adalah merupakan resep yang dapat menjamin kegagalan. Agar berhasil, perusahaan harus merangkul perubahan. Tidak cukup perusahaan hanya reaktif terhadap perubahan. Perusahaan harus belajar mengantisipasi perubahan. Robbins menyatakan, organisasi harus berubah, kalau tidak berubah, organisasi tersebut akan mati. Apa yang diutarakan Sonnenberg dan Robbins senada dengan Smither, Houston dan McIntire (Organizational Development: Strategies for changing Environment, 1996) yang menyatakan bahwa semua organisasi harus berubah agar dapat bertahan hidup. Pernyataan ini mempunyai makna bahwa perubahan yang terjadi dalam organisasi harus dirumuskan sedemikian rupa demi kepentingan organisasi. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam organisasi harus direncanakan dan dikelola sebaik mungkin. Smither, Houston dan McIntire secara tegas menyatakan bahwa proses perubaan harus dikelola secara terampil agar perubahan tersebut terjadi secara efektif demi kepentingan organisasi. Perubahan seperti ini disebut dengan istilah planned change. Inilah yang merupakan pokok bahasan dari manajemen perubahan.

Faktor faktor penyebab perubahan

Menurut berbagai literatur, terdapat berbagai faktor penyebab terjadinya perubahan dalam organisasi. Dari berbagai sumber, berikut ini rangkuman faktor-faktor penyebab perubahan yang lazim diidentifikasi dalam berbagai kajian.
1. teknologi. Perkembangan teknologi sering menjadi penyebab penting untuk melakukan perubahan. Hal ini karena teknologi beru selalu lebih canggih dari teknologi lama.
2. sumber daya manusia. Kualitas SDM terus berkembang karena kurikulum di lembaga lembaga pendidikan terus berubah. Tingkat pendidikan sumberdaya manusia terus meningkat. Pengetahuan dan keterampilan karyawan sebagai dampak dari pengalaman kerja dan pelatihan terus berkembang. Dengan demikian pola pikir SDM terus berubah. Keanekaragaman latar belakang tenaga kerja terus berkembang, masing masing membawa budaya yang berbeda. Ini semua membawa perubahan dalam organisasi.
3. ekonomi. Keadaan ekonomi suatu negara berpengaruh terhadap terjadinya perubahan dalam organisasi di negara tersebut. Krisis moneter menimbulkan perubahan dalam organisasi. Banyak perusahaan mengurang tenaga kerja, tingkat pengangguran tinggi. Jika ekonomi suatu negara baik akan semakin sulit mendapat tenaga kerja dari dalam negeri, akan terjadi kelangkaan tenaga kerja, tenaga kerja harus diimpor dari negara lain. Sebagai contoh malaysia. Sekitar tiga juta orang tenaga kerja malaysia berasal dari luar Malaysia. Peraturan tenaga kerja tentang malaysia terus berubah. Perlakuan terhadap tenaga kerja yang di impor diatur tersendiri. (dikenal dengan migrant worker).
4. persaingan. Dalam era globalisasi ini, persaingan tidak hanya datang dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Esensi persaingan adalah perebutan ‘pasar’. Dengan adanya persaingan, terjadi perubahan perilaku pelanggan yang menyebabkan perusahaan melakukan perubahan untuk merebut hati pelanggan agar pelanggan tidak pindah ke perusahaan lain dan sekaligus dapat menarik pelanggan pesaing. Ini berlaku pula didunia pendidikan Tinggi, persaingan antara perguruan tinggi di dalam negeri semakin ketat dengan makin banyaknya perguruan tinggi baru yang muncul, tetapi disisi lain diperlukan perubahan yang konsisten dalam hal mutu pengelolaan pendidikan tinggi tersebut agar tidak kalah bersaing dengan perguruan tinggi lain dan dapat survive.
5. regulasi. Peraturan daerah, nasional, maupun internasional terus berubah. Organisasi harus terus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan regulasi yang berlaku.sebagai contoh dalam bidang pendidikan UU BHP yang sempat diberlakukan pada tahun 2009 menyebabkan seluruh perguruan tinggi di indonesia melakukan perubahan dalam rencana strategisnya, dengan mengakomodasi poin poin yang strategis bagi kelangsungan perguruan tinggi tersebut.

Konteks perubahan

Dalam kaitannya dengan konteks perubahan Balogun dan Hailey dalam bukunya yang berjudul Exploring Strategic Change (2004) merumuskan suatu model berupa kaledoskop perubahan yang merupakan fitur fitur atau aspek kontekstual yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan suatu perubahan, fitur tersebut yaitu:
1.      Time: seberapa cepat perubahan diperlukan? Apakah organisasi dalam keadaan krisis atau apakah itu terkait dengan pengembangan strategi jangka panjang?
2.      Scope: tingkatan perubahan yang bagaimana yang dibutuhkan? Penyesuaian atau trasformasi? Apakah perubahan mempengaruhi seluruh organisasi atau hanya sebagaian.
3.      Preservation: aset, karakteristik, praktik organisasi apa yang perlu tetap dijaga dan dilindungi selama perubahan
4.      Diversity: apakah staf dan profesional dan divisi dalam organisasi bersifat homogen atau lebih beragam dalam hal nilai nilai, norma, adan perilaku?
5.      Capability: apa tingkatan kemampuan organisasi, manajerial, dan personal untuk melaksanakan perubahan?
6.      Capacity: seberapa besar sumber daya yang mampu diinvestasikan oleh organisasi dalam perubahan yang diajukan terutama dalam hal keuangan, SDM, dan waktu.
7.      Readiness for Change: Seberapa siap anggota organisasi dalam melakukan perubahan? Apakah mereka menyadari akan kebutuhan perubahan dan termotivasi untuk melaksanakan perubahan?
8.      Power: apakah kekuasaan diberikan dalam organisasi. Seberapa besar kebebasan hak dalam memilih yang dibutuhkan oleh unit untuk berubah, dan yang dimiliki oleh pimpinan perubahan?

Resistensi Terhadap Perubahan

Pada dasarnya, melakukan perubahan merupakan usaha untuk memanfaatkan peluang untuk mencapai keberhasilan. Karena itu melakukan perubahan mengandung resiko, yaitu adanya resistensi atau penolakan terhadap perubahan. Dalam konteks ini Ahmed, Lim & Loh di dalam Learning Through Knowledge Management (2002) secara tegas menyatakan bahwa resistensi terhadap perubahan adalah tindakan yang berbahaya dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan ketat.
Resistensi terhadap perubahan dapat dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu resistensi individu dan resistensi organisasi. Pengertian resistensi individu adalah penolakan anggota organisasi terhadap perubahan yang diajukan oleh pimpinan organisasi.
Beberapa faktor resistensi yang lazim terjadi dalam perubahan organisasi adalah sebagai berikut:
1.      Kebiasaan kerja. Orang sering resisten terhadap perubahan karena menganggap kebiasaan yang baru dianggap merepotkan atau mengganggu.
2.      Keamanan. Seperti takut dipecat, atau kehilangan jabatan
3.      Ekonomi. Faktor ekonomi seperti gaji paling sering dipertanyakan, karena orang sangat tidak megharapkan gajinya turun.
4.      Sesuatu yang tidak diketahui. Istilah lain yang sering dipakai mengenai resistensi terhadap perubahan adalah karena setiap perubahan akan mengganggu comfort zone (zona nyaman), yaitu kebiasaan-kebiasaan kerja yang selama ini dirasakan nyaman, Sonnenberg dalam kaitannya dengan hal ini mengidentifikasi tujuh alasan mengapa orang resisten terhadap perubahan, yaitu:
1.      Procastination. Kecenderungan menunda perubahan, karena merasa masih banyak waktu untuk melakukan perubahan.
2.      Lack of motivation. Orang berpendapat bahwa perubahan tersebut tidak memberikan manfaat sehingga enggan berubah
3.      Fear of failure. Perubahan menimbulkan pembelajaran baru. Orang takut kalau nantinya ia tidak memiliki kemampuan yang baik tentang sesuatu yang baru tersebut sehingga ia akan gagal.
4.      Fear of the unkown. Orang cenderung merasa lebih nyaman dengan hal yang diketahuinya dibandingkan dengan hal yang belum diketahui. Perubahan berarti mengarah kepada sesuatu yang belum diketahui.
5.      Fear of loss. Orang takut kalau perubahan akan menurunkan job security, power, t atau status.
6.      Dislike the innitiator of change. Orang sering sulit menerima perubahan jika mereka ragu terhadap kepiawaian inisiator perubahan atau tidak menyukai anggota agen perubahan.
7.      Lack of communication. Salah pengertian akan apa yang diharapkan dari perubahan, informasi yang disampaikan tidak utuh dan komprehensif.
Penanggulangan Resistensi
Kotter dan Schlesinger, dalam ‘Choosing Strategies for Change’ (Harvard Business Review-Juli – Agustus, 2008), merumuskan enam cara untuk menanggulangi resistensi terhadap perubahan. Robbins (2005), mengkaji berbagai taktik untuk menanggulangi resistensi terhadap perubahan, namun kemudian memutuskan untuk merangkum keenam taktik yang dirumuskan oleh Kotter & Schlesinger (2008) sebagaimana rangkuman berikut.
1.      Pendidikan dan Komunikasi. Menerapkan komunikasi terbuka kepada seluruh anggota. Komunikasi dapat dilakukan dalam bentuk lisan, tulisan, atau lisan dan tulisan. Dengan demikian seluruh anggota organisasi dapat menerima informasi dari satu sumber. Informasi yang disampaikan harus jelas, baik alasan mengapa dilakukan perubahan, tujuan melakukan perubahan, dan manfaat perubahan bagi seluruh organisasi.
2.      Partisipasi. Sebelum mengaplikasikan rancangan perubahan yang telah diformulasikan, pimpinan puncak dan agen perubahan harus dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang resisten terhadap perubahan. Orang orang yang resisten kemudian dilibatkan dalam membahas faktor faktor yang menimbulan perubahan.
3.      Fasilitas dan dukungan. Agen perubahan harus dilatih sedemikian rupa agar dapat memfasilitasi dan membantu anggota organisasi yang menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah dirancang. Jika perlu agen perubahan dapat menyelenggarakan pelatihan atau seminar seminar untuk meningkatkan pemahaman tentang perubahan tersebut.
4.      Negoisasi. Dilakukan jika agen perubahan menemui resistensi perubahan dari orang tertentu. Orang tersebut diundang untuk berdiskusi dan negosiasi.
5.      Manipulasi dan kooptasi. Yang dimaksud dengan manipulasi adalah menonjolkan suatu realita sehingga terlihat dan terasa akan sangat menarik. Sedangkan kooptasi adalah kombinasi dari manipulasi dan partisipasi. Dengan menonjolkan suatu realita sehingga terlihat menarik orang yang resisten diajak berdiskusi dan membuat keputusan tentang faktor faktor yang mempengaruhi pentingnya melakukan perubahan.
6.      Paksaan. Taktik ini adalah penerapan ancaman atau pemaksaan terhadap orang yang resisten terhadap perubahan. Pemindahan atau rotasi, tidak promosi, pemecatan, adalah beberapa bentuk paksaan.
Dalam rumusan cara-cara penanggulangan resistensi terhadap perubahan, Kotter dan Schlesinger (2008) menggabungkan pendidikan dan komunikasi sebagai satu cara. Dalam praktiknya, pendidikan dapat juga dijadikan sebagai satu taktik tersendiri. Orang orang yang resisten terhadap perubahan dapat juga ditanggulangi dengan menyekolahkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Diharapkan, selama mereka mengikuti pendidikan, pola pikir mereka akan berubah dan akan lebih memahami perubahan yang akan dilakukan.

Langkah – Langkah Perubahan

Pakar manajemen perubahan C.Carr, dalam ‘Seven Keys to Successful Change’ (1994) merumuskan 7 langkah perubahan dalam bentuk pertanyaan. Menurut Carr, pemimpin dan agen perubahan harus menemukan jawaban terhadap ketujuh pertanyaan tersebut demi keberhasilan perubahan. Tujuh langkah tersebut adalah:
Pertama, Apakah perubahan tersebut merupakan suatu beban atau tantangan? Perubahan harus dipersepsikan sebagai tantangan, bukan sebagai beban. Karena itu, agen perubahan dan pimpinan harus kreatif meyakinkan semua anggota organisasi bahwa perubahan tersebut merupakan tantangan.
Kedua, Apakah perubahan tersebut jelas, bermanfaat, nyata? Jika agenda perubahan tidak jelas, bermanfaat dan nyata, dalam arti benar benar urgen, maka resistensinya akan tinggi. Karena itu data yang mendukung urgensi perubahan tersebut harus dipersiapkan. Manfaat perubahan juga harus jelas bagi seluruh anggota organisasi.
Ketiga, apakah manfaat perubahan tersebut segera diperoleh? Anggota organisasi selalu ingin mengetahui kapan manfaat perubahan dapat dapat mereka nikmati. Agar manfaat perubahan dirasakan dalam waktu relatif singkat, perubahan harus dimulai dari suatu hal yang dapat dirasakan. Ini berarti tujuan tujuan antara harus dirumuskan.
Keempat, apakah perubahan terbatas pada satu unit kerja atau beberapa unit kerja terkait? Jika karyawan mempunyai persepsi bahwa perubahan hanya diterapkan pada satu unit kerja saja, maka karyawan pada unit kerja tersebut akan menganggap perubahan merupakan suatu beban. Dalam organisasi, tidak ada perubahan yang terjadi pada satu unit kerja tanpa ada perubahan pada unit kerja lain. Satu unit kerja pasti terkait pada unit kerja lain. Kerena itu, keterkaitan perubahan dengan unit kerja lain harus jelas.
Kelima, apa dampak perubahan tersebut terhadap kekuasaan dan status? Kekuasaan (power) dan status dalam perusahaan berkaitan erat dengan unit kerja. Agen perubahan sering salah mengantisipasi pentingnya kekuasaan dan status bagi karyawan. Namun jika dibahas terlalu banyak, maka pelaksanaan perubahan akan sulit.
Keenam, apakah perubahan sejalan dengan budaya organisasi yang ada? Satu perubahan sering diikuti dengan perubahan lain. Agen perubahan harus dapat meyakinkan anggota organisasi bahwa nilai nilai organisasi tetap dipertahannkan.
Ketujuh, apakah perubahan tersebut pasti akan dilaksanakan? Jika karyawan sudah menyadari urgensi perubahan, karyawan ingin kepastian akan terjadinya perubahan tersebut.
Pada waktu Jack Welch menjadi CEO perusahaan General Electric (GE), perusahaan tersebut dalam keadaan kacau balau dan merugi. Tugas utama Jack Welch adalah menjadikan GE perusahaan yang profesional yang profit. Welch kemudian membentuk tim kecil untuk merumuskan langkah langkah untuk mentransformasi GE di seluruh dunia. Setelah melakukan kajian, tim tersebut merumuskan tujuh langkah perubahan, sebagaimana diuraikan oleh Garvin (2000), tujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Leading Change. Pemimpin harus komit terhadap perubahan, baik waktu maupun perhatian
2.      Creating a shared need. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami alasan perubahan
3.      Shaping a vision. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami arah dan tujuan perubahan
4.      Mobilizing commitment. Seluruh karyawan harus memahami stakeholders dan tuntutan dari para stakeholder. Yakinkan karyawan akan pentingnya membangun kerjasama untuk memenuhi kerbutuhan stakeholders.
5.      Making change last. Perubahan harus dimulai dari langkah pertama dan kemudian membuat rencana jangka panjang
6.      Monitoring Progress. Membuat matriks sebagai alat untuk mengontrol dan mengevaluasi keberhasilan perubahan.
7.      Changing system and structure. Mengembangkan karyawan, melakukan evaluasi kinerja, mengkomunikasikan keberhasilan, memberikan rewards, memperbaiki sistem pelaporan sesuai dengan perubahan.
Penerapan 7 langkah perubahan tersebut membuat GE bangkit dari kerugian dan menjadi perusahaan kelas dunia. Jack Welch menjadi terkenal dan diakui sebagai CEO terkemuka di dunia.

daftar pustaka